TAK PANTAS SINGA MELADENI ANJING
Admin | guwakidul.id
Seseorang datang pada kami untuk menceritakan Tentang sebuah peristiwa yang dialaminya sehari sebelumnya, belum the end ‘tuntas’ ceritanya, langsung kami potong.
“Lain kali, tak usah dilawan. Menenga bae! Lebih baik diam! Selesai masalah!,” penggal kami.
Kami potong, karena kami sudah tahu dan paham betul the main character ‘pemeran utama’ di tuturannya itu.
Kami berani begitu, juga dikarenakan almarhum ayah memberikan pelajaran demikian.
Tak mungkin ayah mengajari anaknya sesuatu yang tak pantas.
Setiap orang tua yang baik, tentu akan mengajarkan sesuatu yang baik pada buah hatinya. Bahkan terbaik tentunya.
Kata ayah, satu diantara orang yang tak boleh dilawan yaitu orang bebal (bodoh). Apalagi babal/bodoh banget’.
Islam, agama yang kami anut, pun mengajarkan umatnya demikian.
Firman-Nya dalam surah Al-A’raf ayat 199, artinya, “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”
Bodoh di ayat tersebut, sesuai sebuah rujukan, adalah sok pintar,
tipe orang seperti ini tak mau mendengar pendapat orang lain.
Siapa pun berseberangan pasti salah.
Ali bin Abi Thalib pun “muak” dengan orang bebal.
“Jangan nasihati orang bodoh, karena dia akan membencimu. Tapi, nasihatilah orang berakal, niscaya dia akan mencintaimu,” pesan Ali bin Abi Thalib.
"Jika engkau duduk bersama orang bodoh, maka diamlah. Jika engkau duduk bersama ulama, maka diamlah. Sesungguhnya diammu di hadapan orang bodoh, akan menambah kebijaksanaanmu, dan diammu di hadapan ulama akan menambah ilmumu," kata Sayidina Hasan al Basri.
Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi'i juga memberi petuah sama. Dia bahkan menyarankan tak usah berteman dengan orang bebal.
Imam Syafi’i, adalah seorang ulama besar yang banyak berdialog. Piawai berdebat permasalahan agama.
Alkisah, saking pandainya berdebat, Harun bin Sa’id pernah berkata, “Seandainya Syafi’i berdebat untuk mempertahankan pendapatnya bahwa sebuah tiang kayu yang aslinya terbuat dari besi, tentu dia akan menang.”
Imam Syafi’i tak mau berdebat dengan orang pandir.
“Setiap kali berdebat dengan kaum intelektual, aku selalu menang. Tetapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tak berdaya.”
Lainnya, “Orang pandir mencercaku dengan kata-kata jelek, aku tak ingin menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah lembut. Laksana kayu wangi dibakar, malah menambah harum.”
Kemudian, ujarnya, “Berkatalah sekehendakmu ‘tuk menghina kehormatanku, diamku dari orang hina adalah suatu jawaban. Bukan berarti aku tak punya jawaban, tetapi tak pantas bagi singa meladeni anjing.”
Lainnya, “Apabila orang bodoh mengajakmu berdebat, maka sikap terbaik adalah diam, tak menanggapi. Jika kamu melayaninya, maka kamu bakal susah sendiri. Dan, bila kamu berteman dengannya, maka ia ‘kan selalu menyakiti hati.”
Masih kata Imam Syafi’i, “Sikap diam terhadap orang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan.”
Katanya juga, “Apakah kamu tak melihat bahwa seekor singa itu ditakuti lantaran ia pendiam? Sedangkan seekor anjing dibuat permainan karena ia suka menggonggong.”
Imam Syafi’i mengakui sulitnya berargumentasi dengan orang jahil, “Aku mampu berhujah dengan 10 orang berilmu, tapi aku pasti tak menang dengan seorang yang jahil, karena orang jahil tak pernah paham landasan ilmu.”
Larangan bersahabat dengan orang bodoh, bukan hanya dikatakan Imam Syafi’i. Buddhisme juga memerintahkan begitu.
“Dengan orang-orang bodoh, tak ada persahabatan. Lebih baik seseorang hidup sendiri daripada hidup dengan para lelaki egois, angkuh, pemberontak, dan kepala batu,” tegas Sidharta Gautama.
“Jangan balas kebodohan dengan kebodohan. Jangan balas keterpurukan akhlak, kecuali dengan kebijaksanaan, kedewasaan,” kata ustaz Khalid Basalamah dalam salah satu ceramahnya di youtube.com.
Bila tak pandai menari, jangan lantai dibilang terjungkat,